Isi kandungan Alquran memiliki dua
dimensi, yaitu berdimensi vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal
terkandung aturan khusus yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
(bersifat ubudiyah). Sedangkan pada
dimensi horizontal, Alquran dengan tegas menekankan hubungan kemasyarakatan (social relation) antara sesama manusia.
Pada tatanan dimensi vertikal ini, sifat hukum yang berkaitan dengannya tidak
dapat diinterpretasikan di luar konteks praktik Rasulullah, karena pola ibadah mahdah dalam tatanan teoritisnya telah ditentukan
oleh Allah, sedangkan tatanan praktisnya telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Dalam hal ibadah ini banyak informasi yang diperoleh dari sunnah yang
menerangkan tentang hal itu.
Pada dimensi horizontal yang mempunyai
corak hubungan kemasyarakatan, penerapan hukum yang terkandung dalam Alquran
bersifat fleksibel. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan budaya dan
peradaban manusia senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Muamalah merupakan aktivitas yang bersifat horizontal yang dilakukan
manusia dalam menjalin hubungan dengan sesamanya. Islam mengajarkan bahwa
manusia adalah makhluk Allah yang disiapkan untuk mampu mengemban amanah-Nya,
memakmurkan kehidupan di bumi dan diberi kedudukan terhormat sebagai khalifah-Nya
di bumi.
Kedudukan istimewa manusia di atas bumi
berkaitan erat dengan kekuatan pikiran yang diberikan kepadanya untuk menalar
dan menganalisa. Terlebih lagi ia menerima pedoman dari Allah melalui misi-misi
kerasulan yang menunjukkan jalan yang benar. Manusia selain menjadi khalifah di
bumi, pada saat yang sama ia juga sebagai hamba Allah, ia berkuasa di bumi
bukan lantaran haknya sendiri, melainkan sebagai wakil Allah yang mengungguli
semua makhluk lain, karenanya ia memikul tanggungjawab dihadapan-Nya.
Oleh karena itu kegiatan hidup manusia
senantiasa diarahkan supaya mempunyai makna dan bernilai pengabdian (ibadah)
kepada-Nya. Untuk bernilai ibadah, manusia dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
hidupnya hendaknya selalu menjunjung tinggi pedoman-pedoman yang diberikan oleh
Allah dalam alQuran dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya yang diberikan oleh
Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Akan
tetapi dalil-dalil muamalat (hubungan manusia dengan sesamanya) yang terdapat
dalam al-Quran dan al-Sunnah pada umumnya bersifat global (mujmal) dan sedikit sekali yang terperinci dan qat'i, sehingga
memiliki banyak peluang untuk melakukan ijtihad hukum yang sesuai dengan
kemaslahatan manusia.
Sebagian ulama berpendapat bahwa isi
Alquran secara garis besar terdapat dua macam yaitu insya'i artinya yang menjelaskan tentang nilai baik dalam bentuk
perintah maupun larangan atau halal dan haram; dan khobari artinya yang menjelaskan sesuatu yang terjadi atau
memberikan informasi tentang kisah masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Salah satu contohnya adalah Alquran memberikan informasi tentang manusia dari
mulai proses penciptaan, kehidupannya dan sampai kembali lagi kepada sang
pencipta-Nya.
HAKEKAT MANUSIA MENURUT PARA FILOSOF
Manusia adalah makhluk lain dari yang lain,
manusia memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Keistimewaan tersebut adalah pikirannya. Karena itu Aristoteles mendefinisikan
manusia sebagai hewan yang berfikir (thinking animal). Sebagian antropolog
berpendapat bahwa ciri khas manusia adalah kesadaran dan kemauannya untuk
bertehnik, membuat sesuatu yang baru dari benda-benda yang telah ada, kemudian
mengolahnya untuk kemaslahatan dan perbaikan status hidupnya, manusia dengan
demikian adalah makhluk bertehnik. (M. Quraish Shihab, 1994 :227).
Ali Madkur mengatakan bahwa manusia terdapat kesatuan antara ruh dan
jasad yang keduanya mesti dipelihara dan ditumbuhkembangkan oleh ilmu melalui
pendidikan yang bersumber kepada al-Quran dan al-Sunnah. Ia menyebut manusia
sebagai makhluk berpotensi ganda pula bahkan multi kebutuhan. (Ali Madkur, 1422
H / 2002 M: 158).
Setiap manusia dibekali fithrah atau
potensi dasar sehingga mampu mengesakan Allah Swt. sebagai Tuhan nya. Manusia
adalah makhluk yang diciptakan Allah dalam bentuk yang sempurna. Maka
kesempurnaan itu mesti dipelihara melalui pendidikan, namun, kemuliaan itu
tidak tetap dalam kemuliaannya, apabila tidak dipupuk oelh ilmu, dan melenceng
dari tuntutan kefithrahannya, artinya kefithrahan dan kemuliaan itu sirna karena
maksiat.
Psikologi Islam memposisikan manusia
sebagai makhluk yang diciptkan oleh Allah, sedangkan Psikologi Barat memandang
manusia sebagai makhluk fisik duniawi semata, yaitu sebagai hasil evolusi
kehidupan. Psikologi Islam menilai manusuia sebagai salah satu maha karya
terpadu Allah yang terdiri dari ruh dan tubuh yang simultan. Namun Psikologi
Barat memandang manusia hanya sebagai produk budaya dan pengaruh ekstrernal
"hubungan sebab akibat". Ali Madkur, 1422 H / 2002 M: 154).
Jean Jacques Rousseau berpendapat bahwa
manusia pada asalnya memilki karakter baik, sedangkan perbuatan jahat seperti
korupsi itu berasal dari masyarakat atau unsur lain. Ia lebih lanjut mengatakan
bahwa manusia yang baik dengan karakternya karena datang dari pencipta alam semesta,
jika disentuh atau bergaul dengan manusia, maka manusia itu menjadi jahat. Ali
Madkur, 1422 H / 2002 M: 155).
Para ahli sosiologi berbeda dalam
memandang manusia, mereka adalah makhluk yang tidak mampu untuk hidup sendiri.
Ia harus mempunyai hubungan interdependensi baik langsung maupun tidak langsung
dengan orang lain. Dengan demikian manusia adalah makhluk social. Rumke dalam
Ali Madkur (1422 H / 2002 M: 158), seorang psikiater berkebangsaan Belanda
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang beragama, karena makhluk yang
beragama, maka manusia memiliki sifat yang terbaik, dan masyarakat yang
bertanggung jawab untuk semua aspek kejahatan dan ketidakadilan dalam jiwa
manusia, maka naluri dan unsur lainnya menyebabkan ia berbuat baik dan selalu
benar.
Menurut pandangan materialisme
dialektis, yang merupakan prisip ajaran komunis, manusia adalah makhluk
biologis dan ekonomis. Sebagai makhluk biologis, ia adalah binatang cerdas yang
mempunyai kepala (akal), jiwa, dan perut. Demikianlah sehingga walaupun mereka
tidak mengingkari adanya unsureunsur akal dan jiwa dalam diri manusia, tetapi
mereka beranggapan bahwa unsur materi lebih penting daripada unsur kejiwaan.
Karena jiwa dan akal menurut mereka bergantung wujud dari materi.
Kebergantungan wujud ini menjadikan mereka tidak sekedar mengingkari kekalnya
jiwa setelah hancurnya jasmani (sebagaimana kepercayaan agama), tetapi lebih
dari itu, mereka bahkan menolak kepercayaan agama tentang adanya Tuhan yang
bersifat immaterial (transenden) dan yang telah sebelum adanya materi. (M.
Quraish Shihab, 1994 :229).
Karl Marx mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai tiga kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan dan
pemuasan kebutuhan seks. Ketiga hal ini merupakan hal-hal pokok, sehingga tidak
boleh diabadikan, bahkan segala sesuatu selain ketiga hal itu hendaknya
dipendam dan dipadamkan, termasuk kebutuhan spiritual yang justru dianggap
sebagai hambatan dalam mencapai kebutuhan-kebutuhan pokok tadi. Sehingga
terkenallah di dunia komunisme semboyan "agama adalah candu
masyarakat" dalam kedudukan manusia sebagai homo economicus, maka kerja
dan produksilah yang merupakan hakekat manusia..
Tulisan Bersumber dari : Jurnal Rahmat
Hidayat (Almufida Vol. II No. 02 Juli-Desember 2017)