Posted by Vinniola Hijriani Nur Asy Syam
Selama beberapa dekade moderasi
beragama selalu identik dengan perbedaan, hadirnya moderasi seolah melekat
sebuah bangsa yang hidup dalam tingkat hetrogenitas kesukuan, keagamaan dan
kelompok yang tinggi. Tentu ini adalah sebuah paradigma yang awam tidak ada
jaminan sebuah negeri yang memiliki tingkat homogenitas kesukuan, keagamaan dan
kelompok dapat hidup tanpa adanya konflik sebut saja Negara Somalia suku,
agama, bahasa bahkan taraf ekonominya setara akan tetapi hidup dalam
bayang-bayang kekerasan, kemiskinan dan pertumpahan darah ini membuktikan bahwa
moderasi beragama mesti hadir sebagai nafas kemanusiaan dan konsep kemashlahatan
bersama tanpa sekat siapa dan dimana.
Bagaimana Moderasi di Indonesia?
Selama beberapa dekade, indonesia
telah mempertahankan reputasinya sebagai negara yang tidak “agamis namun tidak
pula sekuler” (dalam term Gusdur Indonesia disebut negara bukan-bukan) sebuah
teka-teki dan kompromi filosfis yang mencerminkan sebuah ketegangan ideologis
yang telah berlangsung lama antara kekuatan konservatif dan liberal fenomena
ini sering diistilahkan dalam dunia kesarjanaan semisal Martin van Bruinessan
menyebutnya sebagai Concervative turn maka untuk menetralisir keduanya perlu di
jembatani apa yang disebut dengan konsep moderasi beragama.
Indonesia yang syarat akan
keberagaman (Multikulturalisme) bahasa, agama, suku dan budaya rentan akan
radikalisme, radikalisme bukanlah sebuah fenomena yang baru di Indonesia, akan
tetapi benih-benih ekstrimisme tumbuh subur di negeri ini meminjam istilah Zachary
Abuza, Angel Rabasa dan sidney jones, bahkan menyebut Indonesia sebagai basis strategic terorism. Untuk mencounter
ekstrimisme itu sendiri moderasi beragama mesti hadir sebagai instrumen penting
dalam menjaga stabilitas dan mewujudkan Islam yang rileks (Rahmatan lila’lamin) atau meminjam istilah Azyumardi Azra telah
dan masih sebagaian besar dikenal sebagai Islam dengan “Face Smile” wajah
tersenyum).
Mahasiswa dan Toleransi Agama Setengah Hati
Beberapa kesarjanaan
tengah mengamati dan tidak kita pungkiri indonesia sedang berada pada fase conservative turn, yakni
pergeseran pemaknaan atau arah Islam Indonesia ke arah yang konservatif ini
terlihat betapa belum dewasanya dalam bersikap sehingga ketika pemilu 2019
sesama anak negeri kenapa mesti ada istilah kardun dan kampret hanya untuk
mempertegas bahwa mereka bukan kelompok yang sama dan diperkuat dengan data
temuan Badan Intelijen Negara (BIN) pada tahun 2017 yang menyebutkan ada tujuh
perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme. Selain itu, ada 39%
mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal yang
dapat dikategorikan ke dalam tiga tingkatan, yakni: rendah, sedang, dan tinggi.
Lebih lanjut, sebagaimana
pandangan Mu’nim Sirry dia memberi horizon tersendiri bagi pengkaji isu
radikalisme dan ekstrimisme bahwa ternyata kalangan mahasiswa (remaja)ini
menerima gagasan toleransi beragama dengan setengah hati. sikap mendua ini
jelas terlihat dari “koalisi besar” terhadap toleransi beragama terhadap
koeksistensi kerukunan hidup beragama serta penolakan keras mereka terhadap
radikalisasi pada saat yang bersamaan, terlebih jika sudah menyangkut isu-isu
temporal semisal ucapat selamat natal dan kepemimpinan non-Muslim bahkan ada
yang tidak bisa menerima perbedaan simbolik semisal cadar dan celana cingkrang.
Apa yang kiranya hilang dalam toleransi setengah hati adalah rasa kepedulian (care) keramahtamahan (hospitality).
Persamaan Persepsi Sebagai Kunci?
Poin penting dalam menciptakan iklim moderasi beragama tanpa
merasa siapa yang paling benar, tanpa memaksakan bahwa pendapat saya atau
kelompok saya yang benar, tanpa ada yang terintimidasi semua berada dan sejajar
secara bersama-sama maka hal yang di tekankan dalam mewujudkan toleransi
mensyaratkan interaktif dan dialektif dalam menyangga sikap moderasi. Tentu
tidak ada agama yang menyeru pada kekerasan, semua agama sepakat bahwa harkat
kemanusiaan dan nilai ketuhanan perlu dijaga secara bersama-sama maka dengan
adanya persamaan perspektif tujuan dan misi bersama akan mudah terakomodir dan
lebih konsisten apalagi pesamaan perspektif dalam menciptakan harmonisasi nilai
cinta dan kasih sayang antar umat beragama sekalipun.
Dr. Deni Suryanto, MP.d
ADS HERE !!!